HAKEKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
3. Perubahan yang fungsional.
4. Perubahan yang bersifat positif.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
6. Perubahan yang bersifat pemanen.
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
B. Menurut Bloom
C. Penggabungan Dari Tiga Ahli (A. De Block, Robert M. Gagne, C. Van Parreren)
PENGERTIAN PEMBELAJARAN
CIRI-CIRI PEMBELAJARAN
PEMBELAJARAN, PENGAJARAN, PEMELAJAR, DAN PEMBELAJAR
PRINSIP PEMBELAJARAN MENURUT GAGNE DAN ATWI SUPARMAN
A. Teori Belajar Behaviorisme
4. Social Learning menurut Albert Bandura
B. Teori Belajar Kognitivisme
C. Teori Belajar Konstruktivisme
Peranan Guru Dalam Pembelajaran
E. Teori Belajar Gestalt
PENGERTIAN PENIDIKAN
Pendidikan
menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
PENGERTIAN BELAJAR
A. Pengertian belajar menurut kamus bahasa Indonesia :
Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih,
berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.
B. Pengertian belajar menurut beberapa ahli :
- James O. Whittaker (Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah Proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
- Winkel, belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap.
- Cronchbach (Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu aktifitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
- Howard L. Kingskey (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.
- Drs. Slameto (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri di dalam interaksi dengan lingkungannya.
- Djamarah, Syaiful Bahri, (Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999)
- Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor.
- R. Gagne (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999) hal 22. Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku
- Herbart (swiss) Belajar adalah suatu proses pengisian jiwa dengan pengetahuan dan pengalamn yang sebanyak-banyaknya dengan melalui hafaln
- Robert M. Gagne dalam buku: the conditioning of learning mengemukakan bahwa: Learning is change in human disposition or capacity, wich persists over a period time, and which is not simply ascribable to process a groeth. Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan karena proses pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan bahwa belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalm diri dan keduanya saling berinteraksi.
- Lester D. Crow and Alice Crow (WWW. Google.com) Belajar adalah acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar adalah upaya-upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap.
- Ngalim Purwanto (1992) (WWW. Google.com) Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi sebagi hasil dari suatu latihan atau pengalaman.
- Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
- Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
- Crow & Crow dan (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
- Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”
- Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”.
CIRI-CIRI BELAJAR
Ciri-ciri belajar adalah sebagai berikut :
- Adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahan tingkah laku bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), maupun nilai dan sikap (afektif).
- Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja melainkan menetap atau dapat disimpan.
- Perubahan itu tidak terjadi begitu saja melainkan harus dengan usaha. Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan.
- Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik/ kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh obat-obatan.
Dari
beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar
adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan
ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja
dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya,
individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi
perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau
keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti
suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang
psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha
mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar
Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi
perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada
dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang
telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi
pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya,
seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat
Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”,
maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar”
akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan
“Strategi Belajar Mengajar”.
3. Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan
masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar
tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam
psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan
mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan
mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi
guru.
4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke
arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang
Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar
tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau
perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah
mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan
berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual
maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi
guru.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif
berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh
pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut
aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi
pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan
sebagainya.
6. Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung
menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya,
mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan
mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri
mahasiswa tersebut.
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin
dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka
panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan,
tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin
memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi
pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh
nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang
efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi
Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan
semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan
keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori
Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang
“Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya
seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia
memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :
- Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
- Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
- Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
- Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
- Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
- Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.
- Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
- Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.
- Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.
- Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
- Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
- Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).
- Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.
- Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.
Sedangkan
menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar
meliputi perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan
psikomotor, beserta tingkatan aspek-aspeknya.
Berikut beberapa faktor pendorong mengapa manusia memiliki keinginan untuk belajar:
- Adanya dorongan rasa ingin tahu
- Adanya keinginan untuk menguasai Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai tuntutan zaman dan lingkungan sekitarnya.
- Mengutip dari istilah Abraham Maslow bahwa segala aktivitas manusia didasari atas kebutuhan yang harus dipenuhi dari kebutuhan biologis sampai aktualisasi diri.
- Untuk melakukan penyempurnaan dari apa yang telah diketahuinya.
- Agar mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungannya.
- Untuk meningkatkan intelektualitas dan mengembangkan potensi diri.
- Untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.
- Untuk mengisi waktu luang
JENIS-JENIS BELAJAR
A. Menurut Robert M. Gagne
Manusia
memilki beragam potensi, karakter, dan kebutuhan dalam belajar. Karena
itu banyak tipre-tipe belajar yang dilakukan manusia. Gagne mencatat ada
delapan tipe belajar:
1. Belajar
isyarat (signal learning). Menurut Gagne, ternyata tidak semua reaksi
sepontan manusia terhadap stimulus sebenarnya tidak menimbulkan
respon.dalam konteks inilah signal learning terjadi. Contohnya yaitu
seorang guru yang memberikan isyarat kepada muridnya yang gaduh dengan
bahasa tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan.
2. Belajar
stimulus respon. Belajar tipe ini memberikan respon yang tepat terhadap
stimulus yang diberikan. Reaksi yang tepat diberikan penguatan
(reinforcement) sehingga terbentuk perilaku tertentu (shaping).
Contohnya yaitu seorang guru memberikan suatu bentuk pertanyaan atau
gambaran tentang sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya. Guru
member pertanyaan kemudian murid menjawab.
3. Belajar
merantaikan (chaining). Tipe ini merupakan belajar dengan membuat
gerakan-gerakan motorik sehingga akhirnya membentuk rangkaian gerak
dalam urutan tertentu. Contohnya yaitu pengajaran tari atau senam yang
dari awal membutuhkan proses-proses dan tahapan untuk mencapai
tujuannya.
4. Belajar
asosiasi verbal (verbal Association). Tipe ini merupakan belajar
menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang berupa benda, orang
atau kejadian dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat.
Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu praktek dengan bntuan
alat atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
5. Belajar
membedakan (discrimination). Tipe belajar ini memberikan reaksi yang
berbeda–beda pada stimulus yang mempunyai kesamaan. Contohnya yaitu
seorang guru memberikan sebuah bentuk pertanyaan dalam berupa kata-kata
atau benda yang mempunyai jawaban yang mempunyai banyak versi tetapi
masih dalam satu bagian dalam jawaban yang benar. Guru memberikan sebuah
bentuk (kubus) siswa menerka ada yang bilang berbentuk kotak, seperti
kotak kardus, kubus, dsb.
6. Belajar
konsep (concept learning). Belajar mengklsifikasikan stimulus, atau
menempatkan obyek-obyek dalam kelompok tertentu yang membentuk suatu
konsep. (konsep : satuan arti yang mewakili kesamaan ciri). Contohnya
yaitu memahami sebuah prosedur dalam suatu praktek atau juga teori.
Memahami prosedur praktek uji bahan sebelum praktek, atau konsep dalam
kuliah mekanika teknik.
7. Belajar
dalil (rule learning). Tipe ini meruoakan tipe belajar untuk
menghasilkan aturan atau kaidah yang terdiri dari penggabungan beberapa
konsep. Hubungan antara konsep biasanya dituangkan dalam bentuk kalimat.
Contohnya yaitu seorang guru memberikan hukuman kepada siswa yang tidak
mengerjakan tugas yang merupakan kewajiban siswa, dalam hal itu hukuman
diberikan supaya siswa tidak mengulangi kesalahannya.
8. Belajar
memecahkan masalah (problem solving). Tipe ini merupakan tipe belajar
yang menggabungkan beberapa kaidah untuk memecahkan masalah, sehingga
terbentuk kaedah yang lebih tinggi (higher order rule). Contohnya yaitu
seorang guru memberikan kasus atau permasalahan kepada siswa-siswanya
untuk memancing otak mereka mencari jawaban atau penyelesaian dari
masalah tersebut
Selain
delapan jenis belajar, Gagne juga membuat semacam sistematika jenis
belajar. Menurutnya sistematika tersebut mengelompokkan hasil-hasil
belajar yang mempunyai ciri-ciri sama dalam satu katagori. Kelima hal
tersebut adalah :
1. keterampilan
intelektual : kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan
lingkungannya dengan menggunakan symbol huruf, angka, kata atau gambar.
2. informasi
verbal : seseorang belajar menyatakan atau menceritakan suatu fakta
atau suatu peristiwa secara lisan atau tertulis, termasuk dengan cara
menggambar.
3. strategi kognitif : kemampuan seseorang untuk mengatur proses belajarnya sendiri, mengingat dan berfikir.
4. keterampilan
motorik : seseorang belajar melakukan gerakan secara teratur dalam
urutan tertentu (organized motor act). Ciri khasnya adalah otomatisme
yaitu gerakan berlangsung secara teratur dan berjalan dengan lancar dan
luwes.
5. sikap keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan pilihan-pilihan dalam bertindak
B. Menurut Bloom
Benyamin
S. Bloom (1956) adalah ahli pendidikan yang terkenal sebagai pencetus
konseptaksonomi belajar. Taksonomi belajar adalah pengelompokkan tujuan
berdasarkan domain atau kawasan belajar. Menurut Bloom ada tiga dmain
belajar yaitu :
1. Cognitive
Domain (Kawasan Kognitif). Adalah kawasan yang berkaitan dengan
aspek-aspek intelektual atau secara logis yang bias diukur dengan
pikiran atau nalar. Kawasan ini tediri dari:
• Pengetahuan (Knowledge).
• Pemahaman (Comprehension).
• Penerapan (Aplication)
• Penguraian (Analysis).
• Memadukan (Synthesis).
• Penilaian (Evaluation).
2. Affective
Domain (Kawasan afektif). Adalah kawasan yang berkaitan dengan
aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan
terhadap moral dan sebagainya. Kawasan ini terdiri dari:
• Penerimaan (receiving/attending).
• Sambutan (responding).
• Penilaian (valuing).
• Pengorganisasian (organization).
• Karakterisasi (characterization)
3. Psychomotor
Domain (Kawasan psikomotorik). Adalah kawasan yang berkaitan dengan
aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot
(neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari:
• Kesiapan (set)
• Meniru (imitation)
• Membiasakan (habitual)
• Adaptasi (adaption)
C. Penggabungan Dari Tiga Ahli (A. De Block, Robert M. Gagne, C. Van Parreren)
1.
Belajar arti kata-kata. Belajar arti kata-kata maksudnya adalah orang
mulai menangkap arti yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan.
2.
Belajar Kognitif. Tak dapat disangkal bahwa belajar kognitif
bersentuhan dengan masalah mental. Objek-objek yang diamati dihadirkan
dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau lambang yang
merupakan sesuatu bersifat mental.
3.
Belajar Menghafal. Menghafal adalah suatu aktivitas menanamkan suatu
materi verbal dalam ingatan, sehingga nantinya dapat diproduksikan
{diingat} kembali secara harfiah, sesuai dengan materi yang asli, dan
menyimpan kesan-kesan yang nantinya suatu waktu bila diperlukan dapat
diingat kembali kealam dasar.
4.
Belajar Teoritis. Bentuk belajar ini bertujuan untuk menempatkan semua
data dan fakta {pengetahuan} dalam suatu kerangka organisasi mental,
sehingga dapat difahami dan digunakan untuk memecahkan problem, seperti
terjadi dalam bidang-bidang studi ilmiah.
5.
Belajar Konsep. Konsep atau pengertian adalah satuan arti yang mewakili
sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama, orang yang memiliki
konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapinya,
sehingga objek ditempatkan dalam golongan tertentu.
6.
Belajar Kaidah. Belajar kaidah {rule} termasuk dari jenis belajar
kemahiran intelektual {intellectual skill}, yang dikemukakan oleh Gagne.
Belajar kaidah adalah bila dua konsep atau lebih dihubungkan satu sama
lain, terbentuk suatu ketentuan yang mereprensikan suatu keteraturan.
7.
Belajar Berpikir. Dalam belajar ini, orang dihadapkan pada suatu
masalah yang harus dipecahkan, tetapi tanpa melalui pengamatan dan
reorganisasi dalam pengamatan.masalah harus dipecahkan melalui operasi
mental, khususnya menggunakan konsep dan kaidah serta metode-metode
bekerja tertentu.
Konsep Dewey tentang berpikir menjadi dasar untuk pemecahan masalah adalah sebagai berikut:
• Adanya kesulitan yang dirasakan dan kesadaran akan adanya masalah.
• Masalah itu diperjelas dan dibatasi.
• Mencari informasi atau data dan kemudian data itu diorganisasikan.
•
Mencari hubungan-hubungan untuk merumuskan hipotesis-hipotesis,
kemudian hipotesis-hipotesis itu dinilai, diuji, agar dapat ditentukan
untuk diterima atau ditolak.
•
Penerapan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi sekaligus berlaku
sabagai pengujian kebenaran pemecahan tersebut untuk dapat sampai pada
kesimpulan.
Menurut Dewey, langkah-langkah dalam pemecahan masalah adalah sebagai berikut.
• Kesadaran akan adanya masalah.
• Merumuskan masalah.
• Mencari data dan merumuskan hipotesis-hipotesis.
• Menguji hipotesis-hipotesis itu.
• Menerima hipotesis yang benar.
D Menurut UNESCO
UNESCO
telah mengeluarkan kategori jenis belajar yang dikenal sebagai empat
pilar dalam kegiatan belajar ( A. Suhaenah Suparno, 2000 ) :
1.
Learning to know. Pada Learning to know ini terkandung makna bagaimana
belajar, dalam hal ini ada tiga aspek : apa yang dipelajari, bagaimana
caranya dan siapa yang belajar.
2.
Learning to do. Hal ini dikaitkan dengan dunia kerja, membantu
seseorang mampu mempersiapkan diri untuk bekerja atau mencari nafkah.
Jadi dalam hal ini menekankan perkembangan ketrampilan untuk yang
berhubungan dengan dunia kerja.
3.
Learning to live together. Belajar ini ditekankan seseorang/pihak yang
belajar mampu hidup bersama, dengan memahami orang lain, sejarahnya,
budayanya, dan mampu berinteraksi dengan orang lain secara harmonis.
4.
Learning to be. Belajar ini ditekankan pada pengembangan potensi insani
secara maksimal. Setiap individu didorong untuk berkembang dan
mengaktualisasikan diri. Dengan learning to be seseorang akan mengenal
jati diri, memahami kemampuan dan kelemahanya dengan
kompetensi-kompetensinya akan membangun pribadi secara utuh.
PENGERTIAN PEMBELAJARAN
Istilah
pembelajaran berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar.
Belajar, mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat
terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran formal
lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru lakukan di dalam
kelas.
A. Pengertian pembelajaran menurut kamus bahasa Indonesia :
Pembelajaran adalah proses, cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.
B. Pengertian pembelajaran menurut beberapa ahli :
1. Duffy
dan Roehler (1989). Pembelajaran adalah suatu usaha yang sengaja
melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional yang dimiliki guru
untuk mencapai tujuan kurikulum.
2. Gagne
dan Briggs (1979:3). Mengartikan instruction atau pembelajaran ini
adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa,
yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian
rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa
yang bersifat internal.
3. Undang-Undang
No. 23 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS Pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.
CIRI-CIRI PEMBELAJARAN
Ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut :
1. merupakan upaya sadar dan disengaja
2. pembelajaran harus membuat siswa belajar
3. tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan
4. pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses maupun hasilnya
PEMBELAJARAN, PENGAJARAN, PEMELAJAR, DAN PEMBELAJAR
Pembelajaran
adalah separangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses
belajar siswa, dengan memperhitungkan kejadia-kejadian ekstrim yang
berperan terhadap rangkaian kejadian-kejadian intern yang berlangsung
dialami siswa (Winkel,1991)
Pengajaran
adalah proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan perihal
mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar, peringatan (tentang
pengalaman, peristiwa yang dialami atau dilihatnya). (Dariyanto S.S,
Kamus Bahasa Indonesia, 1997). Pengajaran adalah kegiatan yang dilakukan
guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada siswa. Pengajaran juga
diartikan sebagi interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung
sebagai suatu proses yang saling mempengaruhi antara guru dan siswa.
Pemelajar adalah orang yang melakukan pengajaran.
Pembelajar adalah orang yang melakukan pembelajaran.
Perbedaan antara pengajaran dan pembelajaran:
NO
|
PENGAJARAN
|
PEMBELAJARAN
|
1
|
Dilaksanakan oleh mereka yang berprofesi sebagai pengajar
|
Dilaksanakan oleh mereka yang dapat membuat orang belajar
|
2
|
Tujuannya menyampaikan informasi kepada si belajar
|
Tujuannya agar terjadi belajar pada diri siswa
|
3
|
Merupakan salah satu penerapan strategi pembelajaran
|
Merupakan cara untuk mengembangkan rencana yang terorganisasi untuk keperluan belajar.
|
4
|
Kegiatan belajar berlangsung bila ada guru atau pengajar
|
Kegiatan belajar dapat berlangsung dengan atau tanpa hadirnya guru
|
PRINSIP PEMBELAJARAN MENURUT GAGNE DAN ATWI SUPARMAN
Beberapa prinsip pembelajaran dikemukakan oleh Atwi Suparman dengan mengadaptasi pemikiran Fillbeck (1974), sebagai berikut :
- Respon-respon baru (new responses) diulang sebagai akibat dari respon yang terjadi sebelumnya.
- Perilaku tidak hanya dikontrol oleh akibat dari respon, tetapi juga di bawah pengaruh kondisi atau tanda-tanda dilingkungan siswa.
- Perilaku yang timbul oleh tanda-tanda tertentu akan hilang atau berkurang frekuensinya bila tidak diperkuat dengan akibat yang menyenangkan.
- Belajar yang berbentuk respon terhadap tanda-tanda yang terbatas akan ditransfer kepada situasi lain yang terbatas pula.
- Belajar menggeneralisasikan dan membedakan adalah dasar untuk belajar sesuatu yang kompleks seperti yang berkenaan dengan pemecahan masalah.
- Situasi mental siswa untuk menghadapi pelajaran akan mempengaruhi perhatian dan ketekunan siswa selama proses siswa belajar.
- Kegiatan belajar yang dibagi menjadi langkah-langkah kecil dan disertai umpan balik menyelesaikan tiap langkah, akan membantu siswa.
- Kebutuhan memecah materi kompleks menjadi kegiatan-kegiatan kecil dapat dikurangi dengan mewujudkan dalam suatu model.
- Keterampilan tingkat tinggi (kompleks) terbentuk dari keterampilan dasar yang lebih sederhana.
- Belajar akan lebih cepat, efisien, dan menyenangkan bila siswa diberi informasi tentang kualitas penampilannya dan cara meningkatkannya.
- Perkembangan dan kecepatan belajar siswa sangat bervariasi, ada yang maju dengan cepat ada yang lebih lambat.
- Dengan persiapan, siswa dapat mengembangkan kemampuan mengorganisasikan kegiatan belajarnya sendiri dan menimbulkan umpan balik bagi dirinya untuk membuat respon yang benar.
Dalam
buku Condition of Learning, Gagne (1997) mengemukakan sembilan prinsip
yang dapat dilakukan guru dalam melaksanakan pembelajaran, sebagai
berikut:
- Menarik perhatian (gaining attention) : hal yang menimbulkan minat siswa dengan mengemukakan sesuatu yang baru, aneh, kontradiksi, atau kompleks.
- Menyampaikan tujuan pembelajaran (informing learner of the objectives) : memberitahukan kemampuan yang harus dikuasai siswa setelah selesai mengikuti pelajaran.
- Mengingatkan konsep/prinsip yang telah dipelajari (stimulating recall or prior learning) : merangsang ingatan tentang pengetahuan yang telah dipelajari yang menjadi prasyarat untuk mempelajari materi yang baru.
- Menyampaikan materi pelajaran (presenting the stimulus) : menyampaikan materi-materi pembelajaran yang telah direncanakan.
- Memberikan bimbingan belajar (providing learner guidance) : memberikan pertanyaan-pertanyaan yamng membimbing proses/alur berpikir siswa agar memiliki pemahaman yang lebih baik.
- memperoleh kinerja/penampilan siswa (eliciting performance) ; siswa diminta untuk menunjukkan apa yang telah dipelajari atau penguasaannya terhadap materi.
- memberikan balikan (providing feedback) : memberitahu seberapa jauh ketepatan performance siswa.
- Menilai hasil belajar (assessing performance) :memberiytahukan tes/tugas untuk mengetahui seberapa jauh siswa menguasai tujuan pembelajaran.
- Memperkuat retensi dan transfer belajar (enhancing retention and transfer): merangsang kamampuan mengingat-ingat dan mentransfer dengan memberikan rangkuman, mengadakan review atau mempraktekkan apa yang telah dipelajari.
Teori-Teori Belajar
Jika
menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar
yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini
akan dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori belajar
behaviorisme; (B) teori belajar kognitivisme; (C) teori belajar
konstruktivisme; (D) teori belajar humanisme dan (E) teori belajar
gestalt.
A. Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme
merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari
sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata
lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan
perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata
melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang
dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari
pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
- • Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
- • Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
- • Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
- Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
- Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari
eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya
terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
- • Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
- •
Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun
bahkan musnah.
Reber
(Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant
adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului
oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.
Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja
diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical
conditioning.
4. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning
adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan
teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme
lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks
otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang
timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif
individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa
yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui
pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Kajian konsep dasar belajar dalam Teori Behaviorisme didasarkan pada
pemikiran bahwa belajar merupakan salah satu jenis perilaku (behavior)
individu atau peserta didik yang dilakukan secara sadar. Individu
berperilaku apabila ada rangsangan (stimuli), sehingga dapat dikatakan
peserta didik di SD/MI akan belajar apabila menerima rangsangan dari
guru. Semakin tepat dan intensif rangsangan yang diberikan oleh guru
akan semakin tepat dan intensif pula kegiatan belajar yang dilakukan
peserta didik. Dalam belajar tersebut kondisi lingkungan berperan
sebagai perangsang (stimulator) yang harus direspon individu dengan
sejumlah konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang dihadapi peserta didik,
ada yang bersifat positif (misalnya perasaan puas, gembira, pujian, dan
lain-lain sejenisnya) tetapi ada pula yang bersifat negatif (misalnya
perasaan gagal, sedih, teguran, dan lain-lain sejenisnya). Konsekuensi
positif dan negatif tersebut berfungsi sebagai penguat (reinforce) dalam
kegiatan belajar peserta didik.
Seringkali guru mengaplikasikan konsep belajar menurut teori
behaviorisme secara tidak tepat, karena setiap kali peserta didik
merespon secara tidak tepat atau tidak benar suatu tugas, guru memarahi
atau menghukum peserta didik tersebut. Tindakan guru seperti ini
(memarahi atau menghukum setiap kali peserta didik merespon secara tidak
tepat) dapat disebut salah atau tidak profesional apabila hukuman
(negative consequence) tidak difungsikan sebagai penguat atau reinforce.
Peserta didik seringkali melakukan perilaku tertentu karena meniru
apa yang dilihatnya dilakukan orang lain di sekitarnya seperti saudara
kandungnya, orangtuanya, teman sekolahnya, bahkan oleh gurunya. Oleh
sebab itu dapat dikatakan, apabila lingkungan sosial di mana peserta
didik berada sehari-hari merupakan lingkungan yang mengkondisikan secara
efektif memungkinkan suasana belajar, maka peserta didik akan melakukan
kegiatan atau perilaku belajar yang efektif.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori
belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip
kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut
Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method),
metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi
(The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori
pengurangan dorongan.
B. Teori Belajar Kognitivisme
Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi kognitif,
yang didasarkan pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para ahli teori
belajar ini berupaya menganalisis secara ilmiah proses mental dan
struktur ingatan atau cognition dalam aktifitas belajar. Cognition
diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan,
dan menggunakan pengetahuan (Lefrancois, 1985). Tekanan utama psikologi
kognitif adalah struktur kognitif, yaitu perbendaharaan pengetahuan
pribadi individu yang mencakup ingatan jangka panjangnya (long-term
memory). Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang
selalu aktif mencari dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perkatian
utama psikologi kognitif adalah upaya memahami proses individu mencari,
menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar kognitif
berlangsung berdasar schemata atau struktur mental individu yang
mengorganisasikan hasil pengamatannya.
Struktur mental individu tersebut berkembangan sesuai dengan
tingkatan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat
perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan
keterampilannya dalam memproses berbagai informasi atau pengetahuan yang
diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan phisik maupun lingkungan
sosial. Itulah sebabnya, teori belajar kognitivisme dapat disebut
sebagai (1) teori perkembangan kognitif, (2) teori kognisi sosial, dan
(3) teori pemrosesan informasi.
1. Perkembangan Kognitif menurut Piaget
Piaget
merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak
digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu
yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa
perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu :
(1) sensory motor;
(2) pre operational;
(3) concrete operational dan
(4) formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan
individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005)
menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person
takes material into their mind from the environment, which may mean
changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi
adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of
assimilation”
Asimilasi ditempuh ketika individu menyatukan informasi baru ke
perbendaharaan informasi yang sudah dimiliki atau diketahuinya kemudian
menggantikannya dengan informasi terbaru. Individu mengorganisasikan
makna informasi itu ke dalam ingatan jangka panjang (long-term memory).
Ingatan jangka panjang yang terorganisasikan inilah yang diartikan
sebagai struktur kognitif. Struktur kognitif berisi sejumlah coding yang
mengadung segi-segi intelek yang mengatur atau memerintah perilaku
individu; perubahan perilaku mendasari penetapan tahap-tahap
perkembangan kognitif. Tiap tahapan perkembangan menggambarkan isi
struktur kognitif yang khas sesuai perbedaan antar tahapan. Tahapan
perkembangan belajar menurut Piaget di gambarkan pada diagram di bawah
ini :
- Sensorimotor inteligence (lahir s.d usia 2 tahun): perilaku terikat pada panca indera dan gerak motorik. Bayi belum mampu berpikir konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati
- Preoperation thought (2-7 tahun): tampak kemampuan berbahasa, berkembang pesat penguasaan konsep. Bayi belum mampu berpikir konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati
- Concrete Operation (7-11 tahun): berkembang daya mampu anak berpikir logis untuk memecahkan masalah konkrit. Konsep dasar benda, jumlah waktu, ruang, kausalitas
- Formal
Operations (11-15 tahun): kecakapan kognitif mencapai puncak
perkembangan. Anak mampu memprediksi, berpikir tentang situasi
hipotesis, tentang hakekat berpikir serta mengapresiasi struktur
bahasa dan berdialog. Sarkasme, bahasa gaul, mendebat, berdalih
adalah sisi bahasa remaja cerminan kecakapan berpikir abstrak
dalam/melalui bahasa
Dikemukakannya
pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya
diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang
ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan
tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada
peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif,
mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori
perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
- Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
- Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
- Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
- Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
- Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
2. Kognisi Sosial oleh L.S. Vygotsky
L.S. Vygotsky, mendasari pemikiran bahwa budaya berperan penting
dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap
individu berkembang dalam konteks budaya, sehingga proses belajar
individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya
lingkungan individu membelajarkannya apa dan bagaimana berpikir. Konsep
dasar teori ini diringkas sebagai berikut:
- Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2 cara, yaitu melalui (i) budaya dan (ii) lingkungan budaya. Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan) individu diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan budaya sarana adaptasi intelektual bagi individu berupa proses dan sarana berpikir bagi individu dapat tersedia.
- Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (proses percakapan) dengan cara berbagi pengalaman belajar dan pemecahan masalah bersama orang lain, terutama orangtua, guru, saudara sekandung dan teman sebaya.
- Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab membimbing pemecahan masalah; lambat-laun tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh individu yang bersangkutan.
- Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk menyalurkan sebagian besar perbendaharaan pengetahuan yang hidup dalam budayanya.
- Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi intelektual; ia berbahasa batiniah (internal language) untuk mengendalikan perilaku.
- Internalisasi merujuk pada proses belajar. Menginternalisasikan pengetahuan dan alat berpikir adalah hal yang pertama kali hadir ke kehidupan individu melalui bahasa.
- Terjadi zone of proximal development atau kesenjangan antara yang sanggup dilakukan individu sendiri dengan yang dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa.
- Karena apa yang dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak di antara pemecahan masalahanya ditopang orang dewasa, maka pendidikan hendaknya tidak berpusat pada individu dalam isolasi dari budayanya.
- Interaksi dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga sosial sebagaimana orangtua, saudara sekandung, individu dan teman sebaya yang lebih cakap sangat memberi sumbangan secara nyata pada perkembangan intelektual individu.
3. Pemprosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan
faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan
hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam
pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah
sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam
pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi
internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu
keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar
dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu
dalam proses pembelajaran.
Model belajar pemrosesan informasi ini sering pula disebut model
kognitif information processing, karena dalam proses belajar ini
tersedia tiga taraf struktural sistem informasi, yaitu:
- a. Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui sensory register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu terbatas. Agar tetap dalam sistem, informasi masuk ke working memory yang digabungkan dengan informasi di long-term memory.
- b. Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di working memory, dan di sini berlangsung berpikir yang sadar. Kelemahan working memory sangat terbatas kapasitas isinya dan memperhatikan sejumlah kecil informasi secara serempak.
- c. Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas isinya sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah dimiliki peserta didik. Kelemahannya adalah betapa sulit mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.
Menurut
Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1)
motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan
kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
C. Teori Belajar Konstruktivisme
Konsep belajar menurut teori belajar konstruktivisme yaitu
pengetahuan baru dikonstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif
berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Pendekatan
konstruktivisme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa
tiap individu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi kembali pengalaman
atau pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan
bahwa pembelajaran konstruktivisme merupakan satu teknik pembelajaran
yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif
pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri
mereka masing-masing.
Guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang
memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri informasi,
mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan mengkonstruksinya
menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah
dimiliki masing-masing. Berikt tabel peranan peserta didik dan guru
dalam pembelajaran konstruktivisme
Peranan Guru Dalam Pembelajaran
Efektivitas
dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran
guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian
pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat
berperan sebagai :
- Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
- Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
- Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
- Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
- Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan
dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan
mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam
proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
- Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
- Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
- Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya,
dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin
menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel),
di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang
diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa,
dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya
(remedial teaching).
Di
lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di
sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai
perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil
pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta
didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam
keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih
jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan
aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
- Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
- Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
- Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
- Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
- Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
- Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
- Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
- Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
- Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
- Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
- model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan
- Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
- Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
- seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
- Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
- Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan
- Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Sementara
itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan
dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning).
Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait
langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata
letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta
didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk
dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar,
pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses
pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan
dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada
masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan
profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam
mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang
tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap
berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang,
berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan
satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika
guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang
demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini
terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang
tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas
tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya,
guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya
secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham
penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang
dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak
terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah
efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta
didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir
memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun
ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang sedang berlangsung.
Tasker (1992:30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar
konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif peserta
didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah
pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara
bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru
yang diterima.
Wheatley (1991:12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua
prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme.
Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara
aktif oleh struktur kognitif peserta didik. Kedua, fungsi kognisi
bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata
yang dimiliki anak.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme,
Tytler (1996:20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2)
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki peserta
didik, (5) mendorong peserta didik untuk memikirkan perubahan gagasan
mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Diharapkan melalui pemeblajaran konstruktivisme, peserta didik
dapat tumbuh kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang
memiliki sifat-sifat antara lain:
a.
Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan mengembangkannya
menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan selalu diperbaharui;
b. Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi segala sesuatu;
c.
Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu
tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan orang lain;
d. Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas yang dihadapinya.
D. Teori Belajar Humanisme
Teori
belajar humanisme memandang kegiatan belajar merupakan kegiatan yang
melibatkan potensi psikis yang bersifat kognitif, afektif, dan konatif.
Ibu, yang dicontohkan di atas hanya melihat kegiatan belajar anaknya
dari sisi afektif semata tanpa menyadari bahwa sisi afektif (perasaan)
dan konatif (psikomotorik) turut pula berperan dalam belajar.
Salah seorang tokoh teori belajar humanisme adalah Carl Ransom
Rogers (1902- 1987) yang lahir di Oak Park, Illinois, Chicago, Amerika
Serikat. Rogers terkenal sebagai seorang tokoh psikologi humanis, aliran
fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan terapis. Ide dan konsep
teorinya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya
yang banyak dipengaruhi oleh teori kebutuhan (needs) yang diperkenalkan
Abraham H. Maslow.
Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu
terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun secara berjenjang, mulai dari
kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar (physiological needs)
sampai pada jenjang paling tinggi (self actualization). Setiap individu
mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi diri, yang oleh Carl R. Rogers
disebut dorongan untuk menjadi dirinya sendiri (to becoming a person).
Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi dirinya sendiri,
karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti dirinya
sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani sendiri masalah yang
dihadapinya. Itulah sebabnya, dalam proses pembelajaran hendaknya
diciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara
aktif mengaktualisasi dirinya.
Aktualisasi diri merupakan suatu proses menjadi diri sendiri dan
mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik.
Proses aktualisasi diri seseorang berkembang sejalan dengan perkembangan
hidupnya karena setiap individu, dilahirkan disertai potensi
tumbuh-kembang baik secara fisik maupun secara phisik masing-masing.
Proses tumbuh-kembang pada setiap individu mengikuti tahapan, arah,
irama, dan tempo sendiri-sendiri, yang ditandai oleh berbagai ciri atau
karakteristiknya masing-masing. Ada individu yang tempo perkembangannya
cepat tetapi iramanya tidak stabil dan arahnya tidak menentu, dan ada
pula individu yang tempo perkembangannya tidak cepat tetapi irama dan
arahnya jelas. Dalam kaitannya dengan proses pendidikan formal
(sekolah), Slavin (1994:70- 110) mengelompokkan tahapan perkembangan
anak, yaitu (1) tahapan early childhood, (2) tahapan middle childhood,
dan (3) tahapan adolescence, dengan dimensi utama perkembangan mencakup
(a) dimensi kognitif, (b) dimensi fisik, dan (c) dimensi sosioemosi.
Tiap dimensi perkembangan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda
antara tahapan perkembangan yang satu dengan tahapan perkembangan yang
lainnya.
Pada
tahapan early childhood, perkembangan individu dalam dimensi
perkembangan kognitif lebih ditandai oleh penguasaan bahasa (language
aquisition). Individu pada tahapan perkembangan ini mendapatkan banyak
sekali perbendaharaan bahasa. Sejak lahir sampai pada usia 2 tahun
biasanya individu (bayi) mencoba memahami dunia sekitarnya melalui
penggunaan rasa (senses). Pengetahuan atau apa yang diketahuinya lebih
banyak didasarkan pada gerakan fisik, dan apa yang dipahaminya terbatas
pada kejadian yang baru saja dialaminya.
Pada tahapan perkembangan middle childhoods, perkembangan kognitif
seseorang mulai bergeser ke perkembangan proses berpikir. Pada awalnya,
proses berpikir individu pada tahapan perkembangan ini dimulai dengan
hal-hal konkrit operasional, dan selanjutnya ke hal-hal abstrak
konseptual. Apabila individu gagal dalam perkembangan proses berpikir
dalam hal-hal konkrit operasional, maka besar kemungkinan mengalami
kesulitan dalam proses berpikir abstrak konseptual.
Pada tahapan perkembangan adollescence, perkembangan kognitif
lebih ditandai oleh perkembangan fungsi otak (brain) sebagai instrumen
berpikir. Berpikir formal operasional atau berpikir abstrak konseptual
mulai berkembang; di samping itu mulai berkembang pola pikir reasoning
(penalaran) baik secara induktif (khusus=>umum) maupun secara
deduktif (umum=>khusus). Dalam menghadapi segala kejadian atau
pengalaman tertentu, individu mengajukan hipotesis atau jawaban
sementara yang menggunakan pola pikir deduktif.
E. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti
sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa
obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan
yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip
organisasi yang terpenting yaitu :
- Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
- Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
- Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
- Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
- Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
- Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
- Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
- Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
- Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
- Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
- Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
- Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
- Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
- Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
- Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd
menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam
pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum
(generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik
telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan
generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam
situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta
didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang
diajarkannya.
B. Prinsip Perencanaan Pembelajaran
Sejumlah prinsip yang harus diperhatikan dalam perencanaan
pembelajaran yang mendidik atau dalam pengembangan kurikulum di SD/MI
(termasuk pula pada satuan pendidikan lainnya pada tingkat pendidikan
dasar dan menengah) adalah Kurikulum hendaknya dikembangkan berdasarkan
prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan
kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjaab.
Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi
peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi
sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
Prinsip ini sesuai dengan konsep dasar teori belajar konstruktivisme dan
humanisme, karena peserta didik melakukan kegiatan belajar sesuai
dengan potensi yang dimilikinya dan diarahkan ke pemenuhan kebutuhan
dirinya.
(1) Prinsip Kurikulum
(2) Prinsip beragam dan terpadu.
(3) Prinsip tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks).
(4) Prinsip relevan dengan kebutuhan kehidupan
(5) Prinsip menyeluruh dan berkesinambungan.
(6) Prinsip belajar sepanjang hayat
(7) Prinsip seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Secara operasional, pengembangan kurikulum harus mengacu pada hal-hal sebagai berikut.
(a) Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
(b) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
(c) Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan.
(d) Tuntutan pengembangan daerah dan nasional
(e) Tuntutan dunia kerja
(f) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (ipteks).
(g) Agama.
(h) Dinamika perkembangan social
(i) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
(j) Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
(k) Kesetaraan jender.
(l) Karakteristik satuan pendidikan.
Prinsip penyusunan silabus
(a)
lmiah, artinya keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan
dalam silabus harus benar dan dapat dipertanggung jawabkan secara
keilmuan, terutama ilmu pendidikan dan pembelajaran;
(b)
Relevan, artinya cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, dan urutan
penyajian materi dalam silabus sesuai dengan tingkat perkembangan fisik,
intelektual, sosial, emosional, dan spiritual peserta didik;
(c) Sistematis, artinya komponen-komponen silabus saling berhubungan secara fungsional dalam mencapai kompetensi;
(d)
Konsisten, artinya adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas)
antara kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar,
sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian;
(e)
Memadai, artinya cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar,
sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem penilaian cukup untuk
menunjang pencapaian kompetensi belajar;
(f)
Aktual dan Kontekstual, artinya cakupan indikator, materi pokok,
pengalaman belajar, sumber belajar, kegiatan pembelajaran, dan sistem
penilaian meperhatikan perkembangan ilmu teknologi, dan seni mutakhir
dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi;
(g)
Fleksibel, artinya keseluruhan komponen pribadi dapat mengakomodasi
keragaman peserta didik, serta dinamika perubahan yang terjadi di
sekolah dan tuntutan masyarakat; dan
(h) Menyeluruh, artinya komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif, afektif, psikomotor).