Berbicara
tentang pendidikan, akan ada banyak suguhan-suguhan yang ada
keterhubungannya satu sama lain.. Dimulai dari teori, prinsip, strategi
dan lain-lain yang berembel-embel akhirnya 'pembelajaran'.
Tepatnya akan
membahas Teori Pembelajaran Matematika SD yang sangat ada hubungannya
dengan duniaku *secara aku kuliah di PGSD UNJ dengan peminatan
Matematika gitu lho hehe :D
Baiklah, lanjut aja.
Kenalkan...
Beliau
adalah Zoltan P. Dienes yakni seorang matematikawan yang memusatkan
perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar
teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan
pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya
itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Jadi tidak
membosankan.
Zoltan
P. Dienes meyakini bahwa dengan menggunakan berbagai sajian
(representasi) tentang suatu konsep matematika, anak-anak akan dapat
memahami secara penuh konsep tersebut jika dibandingkan dengan hanya
menggunakan satu macam sajian saja. Sebagai contohnya adalah, jika guru
ingin mengajarkan konsep persegi, maka guru disarankan untuk menyajikan
beberapa gambar persegi dengan ukuran sisi berlainan. Contoh lainnya,
pada saat guru akan mengenalkan konsep bilangan tiga kepada siswa, guru
disarankan menggunakan tiga mangga, tiga kelereng, tiga balon, tiga
pensil dan tiga benda konkret lainnya.
Dienes
berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi
tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara
struktur-struktur dan mengkatagorikan hubungan-hubungan di antara
struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau
prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan
dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau
obyek-obyek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila
dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika. Hebat yah...
Makin
banyak bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep
tertentu, akan makin jelas konsep yang dipahami anak, karena anak-anak
akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep
yang dipelajarinya itu.
Dalam
mencari kesamaan sifat anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan
menemukan sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti.
Untuk melatih anak-anak dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru
perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur
dari bentuk permainan yang satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi
ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam
permainan semula..
Menurut
Dienes konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam
tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6
tahap, yaitu:
1. Permainan Bebas (Free Play)
Dalam
setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep
bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar
konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak
didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan
pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai membentuk struktur
mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep
yang sedang dipelajari. Misalnya dengan diberi permainan block logic,
anak didik mulai mempelajari konsep-konsep abstrak tentang warna, tebal
tipisnya benda yang merupakan ciri/sifat dari benda yang dimanipulasi.
2. Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Dalam
permainan yang disertai aturan siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan
keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan ini
mungkin terdapat dalam konsep tertentu tapi tidak terdapat dalam konsep
yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan tadi. Jelaslah,
dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan
memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk
berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas
konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat
logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes,
untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk
mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak
relevan dengan pengalaman itu. Contoh dengan permainan block logic, anak
diberi kegiatan untuk membentuk kelompok bangun yang tipis, atau yang
berwarna merah, kemudian membentuk kelompok benda berbentuk segitiga,
atau yang tebal, dan sebagainya. Dalam membentuk kelompok bangun yang
tipis, atau yang merah, timbul pengalaman terhadap konsep tipis dan
merah, serta timbul penolakan terhadap bangun yang tipis (tebal), atau
tidak merah (biru, hijau, kuning).
3. Permainan Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dalam
mencari kesamaan sifat siswa mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan
sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih
dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka
dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain.
Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada
dalam permainan semula. Contoh kegiatan yang diberikan dengan permainan
block logic, anak dihadapkan pada kelompok persegi dan persegi panjang
yang tebal, anak diminta mengidentifikasi sifat-sifat yang sama dari
benda-benda dalam kelompok tersebut (anggota kelompok).
4. Permainan Representasi (Representation)
Representasi
adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para
siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah
mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam
situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini
bersifat abstrak, Dengan demikian telah mengarah pada pengertian
struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep
yang sedang dipelajari. Contoh kegiatan anak untuk menemukan banyaknya
diagonal poligon (misal segi dua puluh tiga) dengan pendekatan induktif
seperti berikut ini.
Segitiga Segiempat Segilima Segienam Segiduapuluhtiga
0 diagonal 2 diagonal 5 diagonal ….. diagonal ……. diagonal
5. Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi
termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan
representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol
matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan
mencari banyaknya diagonal dengan pendekatan induktif tersebut, kegiatan
berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang
digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
6. Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi
merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini
siswa-siswa dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian
merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang
telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma,
harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Contohnya, anak didik telah mengenal dasar-dasar dalam struktur
matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema
berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut.
Pada tahap formalisasi anak
tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara
deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang
berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya.
Misalnya yaitu bilangan bulat dengan operasi penjumlahan peserta
sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan
mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika. Dienes
menyatakan bahwa proses pemahaman (abstracton) berlangsung selama
belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu
dikembangkan materi matematika secara konkret agar konsep matematika
dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus
dinyatakan dalam berbagai penyajian (multiple embodiment), sehingga
anak-anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat
mengembangkan minat anak didik. Berbagai penyajian materi (multiple
embodinent) dapat mempermudah proses pengklasifikasian abstraksi konsep.
Menurut
Dienes, variasi sajian hendaknya tampak berbeda antara satu dan lainya
sesuai dengan prinsip variabilitas perseptual (perseptual variability),
sehingga anak didik dapat melihat struktur dari berbagai pandangan yang
berbeda-beda dan memperkaya imajinasinya terhadap setiap konsep
matematika yang disajikan. Berbagai sajian (multiple embodiment) juga
membuat adanya manipulasi secara penuh tentang variabel-variabel
matematika. Variasi matematika dimaksud untuk membuat lebih jelas
mengenai sejauh mana sebuah konsep dapat digeneralisasi terhadap konsep
yang lain. Dengan demikian, semakin banyak bentuk-bentuk berlainan yang
diberikan dalam konsep tertentu, semakin jelas bagi anak dalam memahami
konsep tersebut.
Berhubungan
dengan tahap belajar, suatu anak didik dihadapkan pada permainan yang
terkontrol dengan berbagai sajian. Kegiatan ini menggunakan kesempatan
untuk membantu anak didik menemukan cara-cara dan juga untuk
mendiskusikan temuan-temuannya. Langkah selanjutnya, menurut Dienes,
adalah memotivasi anak didik untuk mengabstraksikan pelajaran tanda
material kongkret dengan gambar yang sederhana, grafik, peta dan
akhirnya memadukan simbol – simbol dengan konsep tersebut.
Langkah-langkah ini merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan kepada
anak didik ikut berpartisipasi dalam proses penemuan dan formalisasi
melalui percobaan matematika. Proses pembelajaran ini juga lebih
melibatkan anak didik pada kegiatan belajar secara aktif dari pada hanya
sekedar menghapal. Pentingnya simbolisasi adalah untuk meningkatkan
kegiatan matematika ke satu bidang baru.
Dari
sudut pandang tahap belajar, peranan guru adalah untuk mengatur belajar
anak didik dalam memahami bentuk aturan-aturan susunan benda walaupun
dalam skala kecil. Anak didik pada masa ini bermain dengan simbol dan
aturan dengan bentuk-bentuk konkret dan mereka memanipulasi untuk
mengatur serta mengelompokkan aturan-aturan Anak harus mampu mengubah
fase manipulasi konkret, agar pada suatu waktu simbol tetap terkait
dengan pengalaman konkretnya.
Luar biasa ya
ternyata... Dienes ini benar-benar teliti dalam memahami perkembangan
anak sehingga ia tahu kapan anak harus dihadapkan pada suatu
pembelajaran yang bersifat seperti apa sesuai dengan tingkat
perkembangan berpikirnya.