Sejarah Peristiwa G30 S PKI
Pengertian
G 30 S PKI adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta (pengambilan kekuasaan) yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Latar Belakang
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara polisi dan para pemilik tanah. Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
Peristiwa
G 30 S PKI adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta (pengambilan kekuasaan) yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Latar Belakang
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara polisi dan para pemilik tanah. Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
Peristiwa
- Isu Dewan Jenderal
Pada
saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal, yang mengungkapkan bahwa para petinggi Angkatan Darat tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini,
Soekarno memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka
untuk diadili. Namun secara tak terduga, dalam operasi penangkapan tersebut
para jenderal tersebut terbunuh.
- Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen
Gilchrist diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia, Andrew
Gilchrist. Beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen
ini oleh beberapa pihak dianggap pemalsuan. Di bawah pengawasan Jenderal
Agayant dari KGB Rusia, dokumen ini menyebutkan adanya "Teman Tentara
Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah
dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberi daftar
nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti".
- Isu Keterlibatan Soeharto
Menurut isu yang beredar, Soeharto
saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat) tidak membawahi pasukan.
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
- Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
- Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigjen TNI Donald Issac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
- Bripka Karel Satsuin Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.Leimena)
- Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
- Letkol Sugiyanto Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca
kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo. Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya untuk penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Penangkapan dan pembantaian
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua partai kelas buruh yang diketahui, ratusan ribu pekerja, dan petani Indonesia dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis (perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang). Namun diduga setidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo. Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya untuk penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Penangkapan dan pembantaian
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua partai kelas buruh yang diketahui, ratusan ribu pekerja, dan petani Indonesia dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis (perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang). Namun diduga setidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali.
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret)
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI, Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakanlah pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica, Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.
Kesimpulan
- Peristiwa G 30 S PKI adalah peristiwa berdarah bunuh membunuh yang tidak jelas kepastiannya, dalam peristiwa ini 6 jendral tewas dan PKI dituduh sebagai pembunuhnya. Kronologinya akan dibahas pada poin-poin di bawah.
- Menurut isu beredar, ada kabar bahwa para jenderal tidak puas dengan pemerintahan Soekarno, kabar ini disebut Isu Dewan Jenderal, menurut isu beredar, kemudian digerakan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili mereka, namun dalam proses penangkapan, secara tak terduga mereka terbunuh pada tanggal 30 September 1965.
- Menurut isu, setelah ke enam jenderal terbunuh, tersebarlah tuduhan bahwa PKI yang membunuh para jenderal tersebut.
- Menurut isu, untuk menyikapi tuduhan atas PKI tersebut, diberantaslah PKI yang dianggap ingin mengudeta pemerintahan. Banyak anggota-anggota PKI yang terbunuh, juga banyak orang-orang kita yang terbunuh oleh PKI, semua itu terjadi pasca terbunuhnya jenderal pada 30 September 1965
- Sampai akhirnya, lima bulan setelah itu, keluarlah Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah sebelas Maret. Semua pihak, terutama Soekarno berharap semoga aksi bunuh membunuh pasca kejadian 30 September 1965, itu segera selesai
- Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Isu mengenai peristiwa G 30 S PKI, dari mulai tuduhan-tuduhan kudeta sampai kematian para jenderal tidak begitu jelas, hanya Allah yang tau apa yang terjadi sebenarnya, saya hanya copy paste dan mengedit dari beberapa sumber. Waullahua’lam bis sawaf.
FAKTOR-FAKTOR KEJADIAN G 30 SPKI :
1. Angkatan kelima
Pada
kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok,
Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis
chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung
Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S. Pada awal
tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri
RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari
ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan
nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI. Dari tahun 1963,
kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan
antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama"
polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman
Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964,
Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya
mereka. Di akhir 1964 dan permulaan 1965
ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah. Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang
menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun
(milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik
di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan
membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada
permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik Amerika Serikat.
Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada
waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota
kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer
oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan
nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain). Menteri-menteri PKI tidak
hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini,
tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
2. Isu sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964
sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno.
Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno
hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan
tindakan tersebut.
3. Isu masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960
keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU
Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU
Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria yang dibentuk pada tahun 1948.
Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil
berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.
Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan
sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik
tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini
antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten
yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya. Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU,
tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir
semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi
lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam
kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal
ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September
tersebut).
4. Faktor Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal
16 September 1963
adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi
Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden
Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri
dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan
Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan
penculikan petinggi Angkatan Darat.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia
di Kuala Lumpur,
di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno,
membawa lambang negara Garuda Pancasila
ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri
Malaysia saat itu—dan
memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun
meledak.
|
Soekarno yang
murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan
ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan
sebutan "Ganyang Malaysia"
kepada negara Federasi Malaysia
yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno
kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan
dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang
dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu
tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala
Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena
ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat
posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi
Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak
yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan
menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para
pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo,
komandan pasukan di Kalimantan Barat,
mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya
disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari
kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya
sangat mahir dalam peperangan gerilya. Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak
mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk
melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang
yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan
untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Soekarno adalah seorang
individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala,
manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin
mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin
menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin
menjadi boneka.
|
Di pihak PKI,
mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang
mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim.
PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi
motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis. Pada saat PKI
memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan
yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu
ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai
Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini,
namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan
PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang
melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).
Dari sebuah
dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA)
yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965
menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan
bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh
karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa
suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu
bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia
itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak
sekarang."
Dari pihak
Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi
Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan
Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk
berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat
dari para jenderal ini.
5. Faktor Amerika Serikat
Amerika
Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar
Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme.
Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA)
pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie
serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan
yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka
merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini. Salah satu
pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar,
hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal
8 Agustus 1965
yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di
Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam
telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan
kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis
Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih
terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali
dilakukan oleh PKI atau NU/PNI. Pandangan lain, terutama
dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor
di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar
nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua
pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
6. Faktor ekonomi
Ekonomi
masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui
kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah
keadaan Indonesia. Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi,
rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan
barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan
harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara
500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka
kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang
sehari-hari hanya makan bonggol
pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan
yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung
sebagai pakaian mereka. Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas
pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash
terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa
Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.
7. Isu Dewan Jenderal
Pada
saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa
petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk
menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan
pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh
Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan
jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi
dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
8. Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta
besar Inggris untuk Indonesia Andrew
Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan
Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh
intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal
Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya
"Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira
Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh
memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk
"ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data
tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes,
wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval",
yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously",
ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas
teleks untuk mengirimkan berita.
9. Isu Keterlibatan Soeharto
Hingga saat
ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto
yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda
dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto
merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian
ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap
keterlibatan Suharto dan CIA.
PELAKSANAAN
GERAKAN III
Pelaksanaan
gerakan G 30 S PKI 1965 Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan
beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para
pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu
dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat
itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
tersebut.Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal
tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat. Pada
tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan
Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan
kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria
yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas
tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun
undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga
menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah
yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan
melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini
antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten
yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya. Keributan antara PKI dan islam (tidak hanya NU,
tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir
semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi
lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam
kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal
ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September
tersebut).
Sumur
Lubang Buaya Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Pada 1 Oktober 1965
dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta
yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan
pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat
saat itu, Mayjen Soeharto
kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut. Keenam pejabat
tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
- Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
- Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama,
selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani
Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian
dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Selain itu beberapa orang
lainnya juga turut menjadi korban:
- Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
- Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
- Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Pasca kejadian
Literatur
propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan
menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut. Pasca pembunuhan
beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu
studio RRI di Jalan Merdeka Barat
dan Kantor Telekomunikasi
yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman
tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota
“Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan
pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo. Di Jawa Tengah dan DI.
Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem
072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).
Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh
karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris
jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan
Revolusioner oleh para "pemberontak"
dengan berpindah ke Pangkalan
Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk
mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk
menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan
bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari
Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi
massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan
angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin
mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira
untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan
penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk
tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto
menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:
|
Saya perintahkan kepada Jenderal
Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu,
buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia,
Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca
Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali
berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari,
yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan
oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia.
Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik
Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua
kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian
Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita
semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima
Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau,
kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan
Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
|
|
Dalam sebuah Konferensi
Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966,
perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari
pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai
PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka
mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi
pada tanggal 11 Februari,
menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan
dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi
Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil
menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan
30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di
dalam urusan dalam negeri Indonesia."
PENUMPASAN
G
30 S
Penumpasan G 30 S / PKI 1965 dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji. Penangkapan dan pembantaian
Pembantaian Terbesar Di Indonesia Setelah G30S PKI
Paska peristiwa G30S PKI tidak hanya menyimpan misteri, tetapi
ternyata menyisakan cerita yang sangat mengerikan. Pembantaian dan pembunuhan
kepada anggota PKI terjadi dimana-mana di seluruh wilayah Indonesia. Dalam sebuah
Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet
berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas
penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang
terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari
rejim Suharto.
“Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada
tanggal 11 Februari, menyatakan penghargaan penuh” atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain
di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang
berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan
pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.”
Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah
peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap
sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan
ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke
kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini
terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali
(bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan
persis – perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara
perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga orang. Namun diduga
setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang
mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng
Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya
menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu
“terbendung mayat”. Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali.
Sewaktu regu-regu militer yang
didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui
dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah “Time” memberitakan:
“Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga
pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara,
di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari
daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang
benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat
secara serius.”
Basis PKI Blitar
Blitar Selatan adalah basis PKI.
Cap itu masih melekat hingga sekarang meski PKI sudah dinyatakan sebagai partai
terlarang. Ketika negara mengejar anggota serta mereka yang dianggap sebagai
pendukung PKI pada tahun 1965, ribuan nyawa melayang. Dieksekusi tanpa
peradilan. Sebagian dari mereka dikuburkan secara massal di sejumlah desa di
Blitar Selatan, Jawa Timur. Peristiwa 1965 memang masih menyisakan beribu tanda
tanya. Membongkar makam massal punya nilai penting, tidak hanya bagi mereka
yang dikuburkan di dalamnya, tapi penting bagi kebenaran itu sendiri. Namun
rupanya ada yang tak setuju makam dibongkar.
Markus Talam dan Sanjoyo, bekas
narapidana di Pulau Buru, mengatakan, di makam Bakung inilah pertama kali
terjadi pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap terlibat PKI. “Di
sini ini saja ada 48, disitu ada 7. Mati itu bukan semuanya ditembak. Ya ada
yang dipukul, digorok, disembelih,” ujar Markus Talam.
Sementara Sanjoyo berkata: “Sekitar 25 atau 30 orang itu
dalam satu lobang.”Ini kuburan massal PKI, begitu kata warga Blitar. Kuburan ini adalah buntut dari Operasi Trisula yang digelar tahun 1966 di Blitar Selatan, ketika itu warga yang dicap PKI dikejar dan dibunuh. Lebih jauh Markus Talam berkata: “Itu gencar sekali, istilahnya operasi Tumpes Kelor!!!! Jumpa kelihatannya itu orang mencurigakan langsung dibawa, termasuk saya. Tinggal yang di rumah itu cuma perempuan-perempuan. Ada orang yang bertani dibawa, direntengi sampe 10, 7, 4 itu dibunuh. Pembunuhannya ya di tempat-tempat itu aja. Yang dibunuh di sini juga ada, yang dibawa di gunung di luar desa juga ada.” Markus Talam lolos dari pembunuhan karena kabur saat diangkut tentara dari tempat persembunyiannya di Trenggalek, menuju Markas Kodim di Blitar. Tapi selama ia melarikan diri, giliran anggota keluarganya yang jadi sasaran. Ditangkap, lantas dieksekusi.
“Saya ini nggak kurang dari 30 dik, korban. Keponakan, terus saudara-saudara sepupu, banyak! Orang-orang yang nggak tahu apa-apa itu, petani. Ya mereka itu ditembak di sini saja, yang deket sungai ya dibuang ke sungai, kalo nggak ya ditaruh begitu saja, nggak dikubur.
Kuburan massal bagi mereka yang
dicap PKI juga bisa ditemukan di Kecamatan Nglegok, Blitar Utara. Jaraknya
sekitar 50 kilometer dari desa pertama. Sanjoyo adalah bekas Kepala Desa
Kedawung. Di desa ini, kata dia, ada dua kuburan massal PKI. Sementara di desa
lain seperti Selorejo, Penataran, Bangsri dan Karanganyar terdapat tiga hingga
lima makam. Total di Kecamatan Nglegok saja, ada puluhan kuburan massal.
Sanjoyo salah seorang saksi dalam peristiwa pembantaian massal bagi mereka yang
dicap PKI. Ketika Operasi Trisula digelar TNI, hampir setiap malam di Desa
Tumpakoyot, Kecamatan Bakung, terdengar bunyi rentetan senjata. Setiap pagi pun
ia harus mencari potongan bambu sepanjang dua meter, untuk mendorong puluhan
mayat yang bergelimpangan di sungai belakang rumahnya. “Kalau di Blitar Selatan
malah lebih ngeri lagi karena cuma diceburkan di kali aja. Pada waktu peristiwa
Gestapu itu airnya nggak putih lagi atau cokelat lagi tapi merah! Itu karena
banyak jenazah-jenazah yang dibuang begitu saja.” Bagi warga Blitar, makam
massal yang paling terkenal, di antara ratusan yang ada, adalah Goa Tikus di
Desa Lorejo. Letaknya di pegunungan kapur Blitar Selatan, yang dikenal sebagai
lokasi pembuangan mayat. Goa Tikus adalah lubang selebar 2,5 meter dengan
kedalaman 20 meter. Tampak puluhan tengkorak manusia menyembul di antara air
berlumpur. Tulang belulang juga terserak bercampur serpihan kain.
Begitu peluit dibunyikan,
Santiko dan Jumani menarik tubuh saya ke atas. “Saya baru saja melihat sebuah
pemandangan yang sangat mengerikan, didalam gua tikus tadi ada tumpukan tulang
manusia yang sudah tak utuh lagi setinggi 2 meter. Dan tulang tulang itu
bercampur dengan lumpur serpihan kain, sandal karet dan batu. Dari banyaknya tulang
yang ada, sepertinya benar yang dikatakan warga, bahwa jenazah yang dibuang di
gua Tikus mencapai ratusan orang.” Bu Put, dikenal warga Desa Pakisrejo, Kecamatan
Srengat, Blitar, sebagai tokoh Gerwani Jawa Timur. Gerwani adalah organisasi
perempuan di bawah Partai Komunis Indonesia, PKI. Posisinya cukup tinggi, ia
sempat menjabat sebagai anggota DPRD Blitar. Tahun 1965, ia lari ke Blitar
Selatan. “Ya lari, he….he…. kenapa Bu ?. Ya takut to saya, wong orang orang
pada disembelih, rumahnya dibakar harta bendanya diambilin.” Put Mainah sudah
kenyang merasakan penjara 10 tahun karena keputusannya bergabung dengan PKI. Ia
tak pernah menyesal menjadi anggota PKI. Satu-satunya penyesalan adalah karena
negara tak menghargai keyakinan dan jalan hidup orang lain.
Upaya pembongkaran kuburan
massal PKI di Blitar bukannya tak pernah dilakukan. Pemkab Blitar beberapa kali
melontarkan gagasan ini, tapi selalu ditentang. Penentang utama datang dari
kelompok tentara. Sukirno seorang pensiunan Komandan Kodim di Blitar berpendapat,
pembongkaran kuburan massal PKI di Blitar lebih banyak sisi negatifnya. “Kalau
itu dilaksanakan menurut saya justru akan menimbulkan efek yang negatif. Baik
korban maupun yang dikorbankan pada tahun 65-66 itu, bahkan mungkin akan
mereview pada tahun 48.”
Pemerintah Kabupaten Blitar
akhirnya meminta meminta Komnas HAM meneliti keberadaan kuburan massal
tersebut. Kuburan dirasa perlu dibongkar, untuk membuktikan adanya pelanggaran
HAM berat saat berlangsung Operasi Trisula. “Peristiwa tahun 65 itu merupakan
tidak hanya pelanggaran tidak hanya HAM, tapi lebih dalam pada perikemanusiaan
itu. Tidak bisa menghilangkan nyawa orang itu seenaknya sendiri tanpa proses
yang jelas. Oleh karena itu saya sangat mendukung upaya upaya itu dan mudah
mudahan setelah bukti bukti kongkrit, kebenaran bisa ditegakkan.”
Paling sedikit 250,000 orang
pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar
110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon
Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta
itu.
Di
pulau Bali, yang sebelum itu
dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke
dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah
hangus. Di
daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai
sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono
Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan,
dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar